Oleh, Tiar Anwar Bachtiar
Tatar Sunda adalah wilayah tempat
bermukimnya suku Sunda. Tatar Sunda umumnya disamakan dengan daerah Jawa
Barat. Sebelum daerah Jawa bagian barat terpecah menjadi provinsi
Banten, Jakarta, dan Jawa Barat seluruh wilayah ini dianggap sebagai
bagian dari etnik Sunda. Oleh sebab itu, ketika membicarakan sejarah
Sunda, selalu saja Cirebon, Banten, dan Jakarta menjadi wilayah yang
dianggap menjadi bagian dari Sunda.
Akan tetapi, kini Jakarta diklaim sebagai
tempat bermukim etnik khusus bernama “Betawi”, dan orang-orang Banten
menganggap mereka bukan Sunda, melainkan “Banten”. Sebentar lagi,
Cirebon ingin berpisah dari Jawa Barat karena mereka merasa bukan
“Sunda”. Mereka adalah etnik tersendiri.
Sesungguhnya, kalau yang dilihat adalah
perbedaan-perbedaan, tentu akan semakin banyak wilayah yang ingin
membentuk provinsi sendiri karena alasan etnisitas seperti kasus Banten
dan Cirebon. Akan tetapi, itu tidak berarti bahwa sungguh-sungguh
Banten, Cirebon, dan Betawi benar-benar bukan bagian dari “Tatar Sunda”,
karena pada kenyataannya, pada wilayah-wilayah itulah populasi
masyarakat Sunda tersebar. Oleh sebab itu, bila berbicara “Tatar Sunda”
dalam sejarah, tentu wilayah-wilayah itu tetap merupakan bagian di
dalamnya.
Sama seperti etnis Jawa yang umumnya
berdiam di wilayah Jawa bagian tengah dan timur, etnis Sunda pun
mengalami proses sejarah yang panjang yang umumnya tidak terlampau
berbeda dengan yang dialami oleh etnis Jawa. Salah satu fase sejarah
yang paling penting adalah proses Islamisasi. Proses ini, sampai saat
ini merupakan proses yang memberikan kesan paling penting dam mendalam
bagi masyarakat Sunda. Paling tidak, secara nominal, mayoritas suku
Sunda menganut Islam. Islam bahkan hampir menjadi bagian dari identitas
kesundaan. Dengan kata lain, kalau tidak Islam, agak aneh bahwa dia
adalah orang Sunda, sekalipun pada kenyataannya ada saja orang Sunda
yang tidak Islam.
Membicarakan Sunda dengan Islam tentu
menjadi semakin menarik apabila pendekatan yang dipakai adalah
kebudayaan. Islam sebagai agama yang berwatak membentuk peradaban, tantu
yang akan paling terlihat dampaknya dari keberadaan Islam adalah basis
dari peradaban itu sendiri, yaitu kebudayaan. Sejarah proses Islamisasi
menjadi semakin dapat dimengerti dengan baik apabila yang
dipertimbangkan adalah faktor kebudayaan ini. Tulisan berikut ini akan
secara singkat memotret hubungan Islam dan Sunda dari sudut pandang
sejarah dan kebudayaan.
Islam dan Falsafah Hidup Urang Sunda
Untuk memahami bagaimana intensifnya
hubungan Islam dan Sunda pada masa kini, akan amat penting apabila kita
menggali bagaimana falsafah yang dianut masyarakat Sundakiwari. Apabila
falsafah hidup yang dianut ternyata mendapat pengaruh kuat dari Islam,
maka hampir dapat dipastikan bahwa Islam telah meresap menjadi bagian
tak terpisahkan dari kebudayaan masyarakat Sunda. Inilah yang akan
digali pertama pada tulisan ini.
Menggali falsafah hidup tentu saja harus
diambil dari keseharian kehidupan masyarakat Sunda. Jejak-jejak budaya
yang hidup sehari-hari-lah yang akan memberikan banyak informasi
mengenai bagaimana urang Sunda mendefinisikan kehidupannya dan bagaimana
mereka harus menjalaninya. Salah satu jejak budaya yang cukup
representatif untuk menggambarkan mengenai falsafah hidup yang dianut
urang Sunda adalah warisan peribahasa dan pepatah yang hidup di tengah
masyarakat. Dalam bahasa Sunda yang demikian disebut paribasa dan babasan.
Di balik peribahasa dan pepatah itu tentu
tersimpan suatu pandangan hidup tertentu (worldview). Pandangan hidup
inilah yang menjadi kerangka dasar masyarakat yang bersangkutan melihat
dan menafsirkan berbagai realitas yang dihadapinya. Di sini pula dengan
segera akan ditemukan sejauh mana Islam berpengaruh membentuk pandangan
hidup masyarakat Sunda.
Berkait dengan peribahasa, ada dua buku penting yang dapat dijadikan rujukan, yaitu buku Mas Natawisastra berjudulSaratus Paribasa jeung Babasan (cet. I thn. 1914; cet. II 1978) terdiri atas lima jilid. Buku lainnya ditulis Samsoedi Babasan jeung Paribasa Sunda yang
terbit tahun 1950-an. Dalam kedua buku tersebut termuat lebih dari 500
peribahasa Sunda. Seluruhnya mewakili apa yang berkembang di tengah
masyarakat Sunda.
Menurut Ajip Rosjidi, dari lebih 500
peribahasa, yang secara langsung kosakatanya meminjam peristilahan Islam
hanya ada sekitar 16 peribahasa. Sisanya tidak meminjam peristilahan
khusus Islam. Di antara babasan yang ada kaitan langsung dengan Islam antara lain: Kokoro manggih Mulud, puasa manggih Lebaran (Orang melarat bertemu perayaan Maulid Nabi, yang berpuasa bertemu dengan Lebaran), Jauh ke bedug(Jauh ke suara bedug di mesjid), dan sebagainya.[1]Sementara
peribahasa lain umumnya menggunakan peristilahan yang umum dalam
masyarakat Sunda dan tidak kaitannya secara langsung dengan Islam
contohnya antara lain: cul dog-dog tinggal igel (menari tanpa diiringi lagi musik pengiring), kandel kulit beungeut (tebal kulit muka), dan sebagainya.
Berdasarkan bacaan Rosjidi, sekalipun
peribahasa dan pepatah yang dibuat tidak secara langsung menyerap
istilah yang ada kaitan dengan kebudayaan Islam seperti tajug (mesjid),
mulud (perayaan Maulid Nabi), lebaran, puasa, dan semisalnya bukan
berarti makna yang terkandung di dalamnya juga tidak ada kaitan dengan
Islam. Justru setelah keseluruhan pepatah dibaca dan beberapa sampel
pepatah dicontohkan, Rosjidi menyimpulkan:
Dengan demikian walaupun jumlah
peribahasa yang tampak Islami tidak banyak, namun kalau diteliti lebih
lanjut, kebanyakan peribahasa Sunda ternyata mengandung nilai-nilai yang
sesuai dengan ajaran Islam. Dengan demikian, pendapat yang pernah
dikemukakan oleh almarhum H. Endang Saifudin Anshari, MA bahwa “Islam
teh Sunda, Sunda teh Islam” tidaklah bertentangan dengan hasil
pengamatan terhadap peribahasa Sunda.[2]
Dalam kesimpulannya Rosjidi setuju dengan
pendapat Endang Saefudin Anshary bahwa sesungguhnya antara Islam dengan
Sunda tidak dapat dipisahkan. Kebudayaan yang hidup di tengah
masyaraqkat Sunda adalah kebudayaan yang telah mendapat sentuhan Islam
sangat kuat hingga ajaran-ajaran Islam, sekalipun tidak harus
dieksplisitkan ayat dan hadisnya, telah membentuk pandangan hidup
masyarakat Sunda. Tentu saja Sunda yang dimaksud adalah kebudayaan Sunda
kontemporer yang telah mengalami Islamisasi amat intensif.
Sebagai contoh, ada peribahasa dalam bahasa Sunda mun teu ngarah moal ngarih, mun teu ngakal moal ngakeul, mun teu ngoprek moal nyapek (kalau
tidak berusaha takkan mungkin mengangi nasi, kalau tidak menggunakan
akal tak nanti menanak nasi, kalau tidak bekerja tidak akan mungkin bisa
makan). Perihabasa ini mencerminkan bagaimana orang Sunda mengajarkan
bahwa hidup harus dihadapi dengan usaha dan ikhtiar, tidak boleh
berpangku tangan. Sekalipun kata-kata yang digunakan tidak menggunakan
istilah Islam, namun pepatah ini amat sesuai dengan ajaran Islam yang
memerintahkan untuk berusaha dan berikhtiar.
Akan tetapi, dalam kenyataan keseharian
kehidupan masyarakat Sunda, ada saja adat yang kelihatannya tidak
mencerminkan perilaku yang dipengaruhi Islam. Bisa jadi adat tersebut
maih dipengaruhi oleh ajaran-ajaran pra-Islam. Hal demikian adalah wajar
mengingat proses Islamisasi adalah proses “menjadi” yang mungkin saja
di satu tempat sudah berubah sementara di tempat lain belum. Karya H.
Hasan Mustapa, Adat Istiadat Sunda.[3]Dalam buku ini, Mustapa
yang tokoh intelektual Muslim Sunda abad ke-19, memberikan penjelasan
mengenai berbagai adat kebiasaan yang dikerjakan masyarakat Sunda mulai
adat saat melahirkan, mengkhitan, menikahkan, menanam, kematian, dan
sebagainya.
Dalam penjelasannya Mustapa menunjukkan
apa pengaruh dan falsafah yang ada di balik kebiasaan itu. Ada adat yang
memang berkenaan dengan kepercayaan pra-Islam, ada pula yang sudah
menunjukkan pengaruh ajaran Islam. Sebagai seorang intelektual Muslim,
Mustapa secara proporsional menempatkan adat kebiasaan urang Sunda yang
dituliskan dalam kerangka pandangan hidupnya sebagai Muslim.
Dari sisi sumber intelektual, sebetulnya
karya Mustapa ini juga sudah menunjukkan secara tidak langsung bahwa
tokoh-tokoh intelektual Sunda seperti dirinya pada abad ke-19 sudah
memiliki pengaruh yang kuat dari Islam. Ini berarti bahwa Islam sudah
menjadi salah satu referensi inetelektual yang penting sehingga adat
kebiasaan yang berlaku pun ditimbang dalam kerangka Islam.
Mengenai persoalan ada sebagian
masyarakat yang lebih memegang adat daripada pengajaran baru, di dalam
falsafah masyarakat Sunda sendiri sudah disadari sejak awal. Ini
tercermin dari peribahasa kuat adat batan warah (lebih kuat
adat daripada pengajaran). Ini menunjukkan bahwa adat bukanlah harga
mati. Bisa jadi, dengan datangnya pengajaran baru adat haru berubah.
Namun seringkali orang yang sudah telanjur memagang adat tidak dapat
dengan mudah meninggalkan kebiasaan-kebiasaannya hanya karena ada
pengajaran baru.
Islamisasi Tatar Sunda
Sudah menjadi kebiasaan dalam historiogri
kolonial bahwa Islamisasi akan dibenturkan dengan pertahanan adat
masyarakat lokal. Umpamanya ketika sejarawan-sejarawan kolonial
menceritakan proses Islamisasi di wilayah kebudayaan Jawa. Islamisasi
yang sesungguhnya adalah proses kebudayaan kemudian digambarkan dengan
pristiwa-peristiwa politik. Jadilah kemudian perang antara Demak dengan
Majapahit (1526 M) sebagai diartikan perang antara Islam dengan Hindu;
atau Islam dengan kebudayaan Jawa. Dalam hal ini, Demak disimbolkan
sebagai wakil tradisi Islam sementara Majapahit disimbolkan sebagai
wakil kebudayaan Jawa.
Bila melihat hubungan antara Islam dengan
kebudayaan setempat seperti demikian, maka akan dapat disimpulkan bahwa
Islam datang untuk menghancurkan “kebudayaan” masyarakat tempatan.
Padahal, sejatinya proses Islamisasi, apalagi menyangkut kebudayaan
adalah proses yang damai, normal, dan wajar tanpa kekerasan. Orang
dengan sukarela menjadi Islam atau tidak. Sementara persoalan politik
sesungguhnya lebih banyak berkaitan dengan kepentingan kekuasaan,
daripada dengan kepentingan mempertahankan kebudayaan.
Hal yang sama juga akan ditemukan saat
menceritakan hubungan antara Sunda dengan Islam. Hubungan ini, dalam
sejarah selalu dikaitkan dengan ingatan perang antara Maulana Hasanudin
dari Banten dengan kerajaan Sunda di bawah pimpinan Ratu Samiam tahun
1579 yang berakhir dengan hancurnya kerajaan Sunda. Perang ini seolah
memberikan pertanda bahwa Islam dengan Sunda adalah seteru, sesuatu yang
tidak dapat dipersatukan. Oleh sebab adanya pandangan demikian, ada
yang sengaja mencari “jati diri” kasundaan dengan melewatkan Islam.[4]
Islam datang ke Tatar Sunda seiring
dengan datangnya Islam ke Tanah Jawa pada umumnya. Sama seperti di
wilayah Jawa yang lain, puncak keberhasilan dakwah Islam adalah pada
masa Wali Songo. Di Tatar Sunda, anggota Wali Songo yang menjadi
penyebar Islam tersohor, bahkan sampai berhasil mendirikan kerajaan
Islam di Cirebon dan Banten adalah Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung
Jati. Namun demikian, Sunan Gunung Jati bukan orang pertama yang
membawa Islam.
Dalam sumber-sumber lokal-tradisional
dipercayai bahwa orang yang pertama kali memeluk dan menyebarkan Islam
di Tatar Sunda adalah Bratalegawa. Bratalegawa adalah putra kedua Prabu
Guru Pangandiparamarta Jayadewabrata atau Sang Bunisora, penguasa
Kerajaan Galuh. Ia memilih hidupnya sebagai saudagar besar. Karena
posisinya itu, ia tebiasa berlayar ke Sumatera, Cina, India, Srilangka,
Iran, sampai ke negeri Arab. Ia menikah dengan seorang Muslimah dari
Gujarat bernama Farhana binti Muhammad.
Melalui pernikahan ini, Bratalegawa
memeluk Islam, kemudian menunaikan ibadah haji dan mendapat julukan Haji
Baharudin. Sebagai orang yang pertama kali menunaikan ibadah haji di
kerajaannya, ia dikenal dengan sebutan Haji Purwa. Ia kemudian menepat
di Ciberon Girang yang saat itu berada di bawah kekuasaan Galuh. Bila
cerita ini menjadi patokan, dapat disimpulkan bahwa Islam pertama kali
dibawa ke Tatar Sunda oleh pedagang dan pada tahap awal belum banyak
pendukungnya karena masih terlampau kuatnya pengaruh Hindu.[5]
Ada pula naskah tradisional lain yang
menyebutkan cerita tentang Syekh Nurjati dari Persia. Ia adalah ulama
yang datang pada sekitar abad ke-14 bersama 12 orang muridnya untuk
menyebarkan Islam di daerah jawa Barat. Atas izin penguasa pelabuhan
tempat ia mendarat, ia diperbolehkan menetap di Muarajati (dekat
Cirebon) dan mendirikan pesantren di sana. Kisah ini terdapat dalam
naskah Carita Purwaka Caruban Nagari.[6]
Ada lagi kisah tentang ulama yang datang
dari Campa (sekitar Vietnam) bernama Syekh Quro. Ia singgah di Karawang
bersama-sama dengan kapal Laksamana Cheng Ho.
Sementara Cheng Ho melanjutkan misinya,
Syekh Quro memilih tinggal di Karawang dan menikah dengan Ratna Sondari
putra penguasa Karawang. Ia diizinkan untuk mendirikan pesantren hingga
ia dapat menyebarluaskan ajaran Islam secara lebih leluasa.[7]
Sumber-sumber tradisional ini, sekalipun
dalam perspektif sejarawan Barat dianggap sebagai sumber yang tidak
otoritatif, namun untuk tidak dipercayai secara keseluruhan pun bukan
perkara yang tepat. Oleh sebab itu, sebagai informasi permulaan apa yang
ditulis dalam sumber-sumber tradisional di atas patut dipertimbangkan.
Bila sumber-sumber ini kita pegang, dapat
disimpulkan bahwa Islam telah datang ke Tatar Sunda sejak abad ke-12
atau ke-13. Akan tetapi, sebagaimana umumnya pengembangan agama secara
damai, tersebarnya Islam untuk sampai menjadi anutan mayoritas
membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Oleh sebab itu, bila pada abad
ke-16, Kerajaan Sunda runtuh, bukan berarti bahwa Islam yang
menghancurkannya.
Kehancuran Kerajaan Sunda adalah karena
kekuatannya secara politik semakin merosot sehingga mudah untuk
dihancurkan. Hanya saja, saat itu yang berhadap-hadapan dengan Kerajaan
Sunda adalah Kerajaan Banten sehingga banyak yang secara simplisistik
menyebutkan bahwa hancurnya simbol “kasundaan” adalah ketika Islam
datang.
Catatan Kaki
[1] Ajip Rosjidi, Mencari Sosok Manusia Sunda, Pustaka Jaya Jakarta, 2010, hal. 39-40
[2] Ibid, hal. 50
[3] Buku ini diterjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia dengan judul yang sama oleh M. Maryati
Sastrawijaya diterbitkan terakhir oleh PT Alumni Bandung tahun 2010